Senja dan Fajar [1] Negeri Empat Musim

Posted by Unknown Sabtu, 20 September 2014 04.45
SENJA DAN FAJAR

[1] Negeri Empat Musim

Hanya ada dua musim, ketika Tuhan menakdirkanku untuk merajut kehidupan. Aku pernah bertanya kepada ibu mengapa mereka memberiku nama Senja. Alasannya adalah karena Fajar. Bukan karena tangis pertamaku pecah saat senja bergulir. Ibu menjelaskan tentang Fajar yang menghilang setelah pagi berlalu tapi pada akhirnya takdir tetap membawanya pulang pada Senja.
Saat itu aku tak mengerti sama sekali. Tapi sekarang karena hal itu aku tetap bisa berdiri tegak melawan hujan dan terik matahari. Harapan kecil yang aku titipkan pada kalimat yang sederhana itu. Aku akan selalu menagih kebenaran kalimat itu pada Ibu.
****
Roda kecil di kaki koperku berputar cepat. Tubuhku terasa terayun mengikuti langkah tergesa Ye-Jin. Saat di pesawat aku berpikir akan bisa menikmati keindahan bandara Incheon yang selama ini hanya bisa aku lihat di beberapa postingan teman-teman di media sosial. Tentang beberapa Idola mereka—yang juga termasuk Idolaku hilir mudik untuk berkunjung ke beberapa negara.
Aku mendengus sebal pada Ye-Jin. Gadis ini seperti tengah dikejar hantu saja. Pot dalam dekapanku semakin kueratkan karena takut akan terjatuh. Jangan bertanya mengapa aku bisa membawa pot ini di pesawat. Bahkan aku harus mengeluarkan uang satu juta rupiah hanya untuk itu. Ingin sekali aku menonjok petugas bandara saat itu.
“Jangan mendengus seperti itu. Ini kulakukan karena aku tak mau kita membeku karena suhu -4°C di pagi buta seperti ini.” Ye-Jin protes dengan bahasa koreanya yang kental.
Aku sudah menguasai bahasa korea bahkan sebelum aku lulus sekolah menengah atas. Ibu membiarkanku mengikuti les bahasa walau keuangan kami pas-pasan. Tidak. Aku menabung untuk membayarnya tiap bulan.
Jika saja perkataan Ye-Jin tak benar. Aku sudah akan membalasnya. Tapi mungkin hal itu harus kuurungkan ketika hawa dingin masih menyentuh kulit pipiku. Ye-Jin sempat memakaikanku mantel tebal sambil mengomel sebelum menarikku tadi. Aku baru tahu ternyata Ia sangat cerewet. Berbanding terbalik saat kita hanya berteman melalui media sosial. Mulutnya sangat manis.
****
Aku memandang butiran salju yang masih saja turun padahal fajar sudah datang. Dari balik jendela kaca bus yang kami naiki, aku bisa melihat tumpukan salju di sepanjang jalan. Kini aku sudah berada di negara empat musim impianku.
Musim salju kemudian bunga bermekaran di musim semi. Ibu bilang pemandangan musim gugur dengan aroma coklat adalah yang terbaik. Setelah itu akan ada musim panas yang ceria.
Ye-Jin sudah tidak mengomel lagi, dia tertidur pulas dengan bantal leher Pororonya. Sebelum itu dia bilang kita masih ada satu jam sebelum sampai di Seoul. Entah mengapa jantungku tiba-tiba saja berdetak lebih cepat.
Seoul. Seseorang meninggalkanku di negara dua musim dan tinggal di sana bersama ibunya. Dia tidak mengatakan apa pun selain bahwa dia lahir disana. Sudah delapan tahun dan Ye-jin mengatakan Seoul itu luas. Kemungkinan kami bisa bertemu hanya nol koma titik-titik persen. Jahat sekali dia mengatakan hal itu padaku. Gadis ini memiliki mulut yang pedas dan terlalu terus terang. Kalau bukan dia satu-satunya orang yang mau memberiku tumpangan gratis selama satu semester pertukaran pelajar ini, aku tak akan sudi setiap saat mendengar gerutuannya. Malang sekali nasibku.
****
Aku menaruh pot bunga kaktusku di kusen jendela bersama beberapa pot bunga lainya. Ye-Jin tengah memasak nasi dengan mesin penanak. Kami sempat membeli lauk saat perjalan pulang dari halte bus. Rumah Ye-Jin berada di atap sebuah gedung apartemen sederhana. Dia menyewanya dengan harga yang murah. Balakangan rumah seperti ini tengah populer di berbagai drama korea yang pernah kutonton. Aku akan memikirkan lagi tentang membayar setengah uang sewa rumah kepada Ye-Jin. Aku akan membantahnya dengan sekuat tenagaku kalau dia kembali menolak.
Saat aku menyusul Ye-Jin ke dapur aku melihatnya tengah sibuk memindahkan lauk yang kami beli ke dalam mangkuk. Aku membuka lemari es dan meneguk segelas air putih dingin yang langsung terasa menyebar di tenggorokan. Salju benar-benar membuat udara terasa menusuk tulang.
“Kau harusnya mandi terlebih dahulu sebelum menginjakkan kaki ke dapur.” Ye-Jin menyindir tanpa mau repot berbalik menatapku. “Kau bisa menyalakan pemanas airnya jika kau merasa kedinginan, Senja.” Akhirnya dia berbalik dan berkata dengan lebih halus saat tidak mendengar jawabanku.
“Aku akan melakukannya setelah makan.” Perutku sudah tak bisa menunggu lagi. Aku belum memakan apa pun selain hidangan di pesawat.
Ye-Jin tersenyum dan menyuruhku duduk sebelum mengambilakan nasi ke kalam mangkuk. Kami makan di depan TV dengan meja kotak tanpa kursi. Kami memasukkan kaki kami ke dalam kolong meja agar hangat.
Ye-jin bilang setalah ini dia akan mengajakku ke kampus sebelum besok perkuliahan dimulai. Kami berada di Universitas dan jurusan yang sama. Sepertinya kami memang berjodoh.
Ye-Jin seperti malaikan walau kadang mulutnya begitu menyebalkan. Karena dia, aku tahu ada program pertukaran pelajar di kampusnya. Kami menyukai bidang yang sama. Kami sama-sama mengagumi tanaman.
Ada beberapa bunga matahari di sebalah tempat jemuran. Ye-Jin membuat taman kecil di depan rumahnya. Bunga matahari adalah favoritku.
****
Fajar dan senja saling terkait sebagaimana matahari dengan langit. Pertemuan pertama kami tidak begitu spesial. Hanya awan-awan kecil seperti kapas yang aku ingat saat itu. Dulu aku membencinya. Memakinya setiap kali kami bertemu. Dia juga membenciku. Kami selalu bertengkar. Tapi entah mengapa diam-diam kami saling ingin bertemu setiap saat.
Ye-Jin menepati janjinya untuk mengajakku berkeliling Seoul setelah berkunjung ke Universitas dan menunjukkan beberapa kelas yang nantinya akan kami tempati. Ye-Jin bilang, aku tidak akan menemui banyak kesulitan saat mengikuti kuliah disini karena kemampuan bahasaku. Ye-Jin sendiri heran dengan logat tanpa celaku. Dia sampai tak percaya bahwa aku belum pernah ke Korea sebelumnya. Aku hanya mengatakan bahwa ibuku pernah tinggal disini selama beberapa tahun untuk melakukan penelitian bersama dosennya saat kuliah.
Kami sejenak berhenti di kedai sosis pinggir jalan. Sambil memijat betis aku memperhatikan Ye-Jin yang tengah membeli dua buah sosis besar. Aku tak tahu makanan apa yang Ye-Jin makan setiap harinya. Energinya seperti tak pernah habis. Kami sudah berkunjung ke Namsan Tower, Lotte World dan berakhir di sungai Han malam ini.
Sambil menggenggam sosis besar masing-masing, kami duduk untuk menikmati air mancur yang meluncur dari bawah jembatan yang jatuh langsung ke sungai. Airnya bergerak dengan indah dan ada bias cahaya warna-warni disana.
“Ye-Jin~ah[1], gomawoyo.[2]” setelah menelan gigitan pertama sosis raksasa ini aku berujar pelan mencoba tidak mengganggu Ye-Jin yang tengah menikmati pemandangan.
Gadis itu menoleh dan tersenyum tulus, “tidak perlu berterimakasih. Kau adalah teman pertamaku yang bukan orang Korea. Aku senang bisa membantumu.”
“Aku tak akan bisa membalas kebaikanmu, Ye-Jin~ah.” Aku bergerak untuk memeluk Ye-Jin. Gadis ini begitu baik. Ini adalah pertamakalinya aku jauh dari orang tua. Aku sempat tak yakin bisa bertahan. Tapi ternyata tak seburuk yang kubayangkan.
Pernah mendengar istilah bahwa teman bisa membuatmu lupa bahwa kau masih punya segudang masalah yang membebani pikiranmu. Kau akan tahu seberapa besar kau membutuhkan teman saat tak ada satu pun orang yang bahkan sempat hanya untuk mengatakan Hallo.
****
Kami berbaring bersebelahan dan saling menatap atap kamar yang berhiaskan gantungan bintang-bintang. Mereka menyala saat lampu tidur dimatikan. Ye-Jin bilang itu hadiah dari ibunya saat ia berulang tahun dua tahun yang lalu.
“Itu hadiah terakhir dari Eomma[3]. Dia meninggal sebualan setelahnya karena sakit. Dia memang sedah menderita penyakit ginjal selama bertahun-tahun. Aku sedikit lega karena tak akan melihatnya menderita lagi saat cuci darah. Tapi tetap saja rasanya tidak rela. Seseorang yang sebelumnya selalu bersamamu tiba-tiba saja pergi dan tak akan kembali.”
Aku hanya diam mendengarkan Ye-Jin bercerita. Tidak ada satu tetes pun air mata yang jatuh. Dia begitu tegar walau aku tahu dia pasti sangat sedih. Aku tahu rasanya kehilangan seseorang yang berharga walau aku lebih beruntung karena mungkin kami masih bisa bertemu lagi meskipun Ye-Jin bilang persentasenya hanya nol koma titi-titik.
Ye-Jin tiba-tiba membalik tubuhnya menghadapku dengan gerakan cepat. Senyum lebarnya terukir. Sangat berbanding terbalik dengan wajah sendunya tadi. Aku memandangnya dengan kening berkerut heran. Mood-nya gampang sekali berubah. “Sudah jangan pikirkan tentang aku. Sekarang ceritakan saja tentang Fajar. Bagaimana dia, apa dia tampan? Kau punya fotonya tidak? Kau tidak mau memperlihatkannya padaku?”
“Aku tak punya fotonya kecuali saat kami masih kecil. Dia dua tahun lebih tua dariku.” Aku bergerak mengambil sebuah foto di dalam koper yang belum sempat aku bereskan.
Disitu kami tengah membantu Ibu menanam bunga di halaman rumah. Fajar tertawa lebar dan aku terlihat cemberut. Aku ingat saat itu dia memasukkan tanah ke dalam bajuku. “Dia itu anak yang nakal. Dia selalu menggangguku saat aku baru masuk sekolah menengah pertama sedangkan dia berada di tingkat akhir. Dia pernah memasukkan sampah plastik ke dalam tasku dan membuatku menangis sepanjang jalan pulang ke rumah. Dan sialnya ibu selalu membelanya.”
Ye-Jin tertawa lebar membuatku semakin kesal. “Kalian terlihat lucu di foto ini.” Ujarnya dengan berusaha menghentikan tawa. “Fajar ternyata sangat tampan.”
Ye-Jin kembali tertawa semakin kencang setelah melihat raut wajahku yang mendadak suram, ingin sekali aku meninjunya. “Astaga, tenang saja aku hanya bercanda. Jangan cemburu begitu padaku. Membuatku takut saja.”
Dan akhirnya kami tidur dengan nyenyak di bawah bintang milik ibu Ye-Jin. Kau tahu, cerita ini baru akan dimulai. Aku berharap kejutan-kejutan indah akan datang esok.
****
Hari pertama kuliah. Semua orang memperhatikanku. Mungkin tak biasa dengan kerudung yang menutupi kepalaku. Aku belum pernah menjadi sorotan banyak orang. Tapi Ye-Jin bilang aku tetap harus percaya diri, jika tidak mereka akan meremehkanmu. Apa aku sekarang tengah hidup di dunia drama? Entahlah aku tak ingin memikirkan ini.
Aku harus menemui Kim Songsaengnim[4] sebagai penanggungjawab atas pertukaran pelajar ini. Ada beberapa dokumen yang harus aku selesaikan. Satu map besar dokumen sudah kusiapkan. Ye-Jin menyuruhku untuk berangkat sendiri. Dia langsung menuju kelas. Katanya ada tugas yang belum ia selesaikan gara-gara mengantarku berkeliling kemarin. Aku harus terbiasa dengan sindiran pedasnya mulai sekarang.
Tinggal melewati dua ruangan lagi aku akan sampai. Tanganku sudah akan terayun untuk mengetuk pintu sebelum suara dengan nada agak tinggi menahanku.
“Tunggu Sang-Woo ayah belum selesai bicara!”
“Berhenti memanggil dirimu sendiri sebagai ayah. Ayahku sudah meninggal dan jangan mengaturku lagi seperti kau mengatur ibu. Aku bukan kerbau yang akan selalu menurut karena dicocok hidungnya.” Aku membeku di tempat. Apa itu adalah pertengkaran ayah dan anak. Mengapa kasar sekali bahasanya.
Belum sempat keterkejutanku berakhir pintu tiba-tiba saja terjerembab terbuka dengan kasar. Aku sampai melompat kebelakang saking kagetnya. Seseorang dengan tinggi menjulang keluar dari ruangan Kim Seongsaengnim tergesa-gesa. Aku belum sempat melihat wajahnya karena dia menabrakku dan berlalu begitu saja. Untung aku tidak terjatuh.
Pria itu benar-benar tidak sopan. Membentak ayahnya sendiri dan setelah itu menabrak orang lain tanpa mau meminta maaf. Suatu saat dia pasti akan mendapat masalah dengan kelakuannya itu.
Aku sudah akan masuk ruangan Kim Seongsaengnim ketika kurasakan kakiku menginjak sesuatu. Aku meliat sebuah pensil hitam di lantai. Aku mengambilnya dan menemukan ukiran nama Sang-Woo dalam tulisa Hangeul[5] di sana. Ini pasti pensil mahal milik pria tanpa sopan santun itu. Aku akan menitipkanya pada Kim Seongsaengnim agar diberikan pada pria tanpa sopan santun itu. Apa ini tak masalah, mungkin hubungan mereka tidak berjalan dengan baik. Atau aku memberikannya nanti saja kalau bertemu lagi. Kurasa dia akan sering ke kampus karena dia anak Kim Seongsaengnim.
****
Ye-Jin benar-benar tega menyuruhku pulang sendirian sementara dia akan berkencan dengan kekasihnya. Dari pada aku di rumah sendiri lebih baik aku jalan-jalan saja dulu. Atau mungkin aku mencari pekerjaan saja agar tidak selalu menyusahkan Ye-Jin, si gadis dengan mulut seperti bebek itu. Baiklah mulai sekarang aku akan memanggilnya dengan sebutan bebek.
Aku merogoh dompetku di dalam tas. Kemudian mengeluarkan sebuah kertas yang berisi list tempat-tempat yang wajib kukunjungi saat di Korea lengkap dengan alamatnya.
Diantara beberapa list itu aku menemukan tempat yang cocok untuk mencari pekerjaan sekaligus Fangirling. Mouse Rabit adalah kafe milik Yesung Superjunior. Kalau aku bisa diterima bekerja disana mungkin aku akan setiap hari bertemu dengan Yesung Oppa[6].
Aku duduk disalah satu meja kafe dengan Cappucino milk shake buatan ibu Yesung Oppa. Aku sungguh beruntung hari ini datang ke Mouse Rabbit hingga bisa bertemu dengan keluarga Yesung Oppa termasuk dengan Jong-Jin. Ibu Yesung Oppa sangat ramah, dia memberiku formulir untuk kuisi jika ingin melamar pekerjaan disini. Beliau bilang banyak yang ingin bekerja, aku harus sabar mengantri. Aku menambahkan nomor teleponku di pojok kanan atas. Semua sudah terisi termasuk dengan motovasi melamar pekerjaan disini.
Aku menulis bahwa aku adalah Fans Yesung Oppa dan tidak punya uang untuk menonton konsernya jadi setidaknya aku masih bisa bertemu dengannya jika aku bekerja disini. Ibu Yesung Oppa pasti menertawakan jawabanku.
Aku tidak berharap terlalu banyak. Mungkin ditempat lain peluangnya akan lebih mudah. Setidaknya aku sudah mencoba.
Aku menyesap minuman terkhirku sebelum beranjak dan memberikan formulirnya kemudian pergi. Ye-Jin pasti tak akan percaya jika kuceritakan apa yang sudah aku lakukan hari ini. Biar saja, dia pikir aku tak akan bisa melakukan apa-apa tanpa dirinya.
****
Bunga matahari yang terlihat sangat cantik saat senja hari. Seseorang pernah mengatakan bahwa aku mirip dengan bunga matahari. Kokoh dan kuat, tidak pernah bersembunyi dari terik matahari. Bahkan satu-satunya hal yang masih bisa bersinar saat terang. Kau tahu bahkan bintang saja hanya bisa bersinar saat gelap.
Tapi dia lupa akan satu hal. Bunga matahari tak pernah melepaskan pandangannya dari matahati. Kau tahu kau mirip matahari yang dirindukan bunga matahari.
Aku naik ke dalam bis dengan tergesa. Hari sudah beranjak senja. Aku tak mau mendapat omelan dari Ye-jin lagi. Dan lagipula aku bukan gadis yang tidak tahu diri. Setidaknya aku harus membantu Ye-Jin menyiapkan makan malam kami. Dia bilang hari ini dia akan masak untuk makan malam. Beli diluar tidak baik untuk kesehatan dan titik poinnya menurut bebek itu adalah pemborosan.
Aku tak mau memikirkan lagi tentang Ye-Jin yang akan mengomel, lebih baik aku duduk. Kebetulan bis sedang kosong jadi aku memilih tiga kursi dari belakang. Dari sini aku bisa melihat pemandangan senja yang indah melalui kaca jendela.
Aku mengeluarkan ponselku dan memasang Headset. Tiga puluh menit perjalanan akan aku habiskan dengan menikmati beberapa lagu Ballad. Aku adalah penggila Ballad. Teman-temanku di Indonesia sempat menjulukiku miss mellow. Tapi aku senang dengan itu.
Seseorang seperti duduk disampingku sesaat setelah bus berhenti di sebuah halte. Aku tidak terlalu memperdulikannya. Aku lebih memilih menikmati lagu dan pemandangan indah dihadapanku.
Aku benar-benar bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan ini. Aku tak pernah menyangka aku bisa sampai disini. Bertemu Ye-Jin, kuliah, dan mungkin bekerja di tempat Yesung Oppa. Dan doa terbesarku adalah bisa bertemu dengan orang itu setelah delapan tahun kami berpisah. Apa dia masih mengenaliku. Apa wajahnya akan berubah. Apa tinggi badannya akan seperti aktor-aktor korea yang begitu menjulang. Entahlah. Jika membayangkannya kepercayaandiriku merosot hingga titik terbawah.
Tiba-tiba aku teringat dengan pensil yang kutemukan tadi pagi. Aku mengeluarkannya dari tas dan kembali memperhatikan ukiran nama Sang-Woo. Sepertinya ini diukir sendiri karena tulisannya yang tidak begitu rapi. Aku sangat penasaran dengan pria tanpa sopan santun pemilik pensil ini. Apa dia akan membentakku seperti dia membentak ayahnya. Ya Tuhan, tolong lindungi aku.
CTAK
Tiba-tiba ada yang merebut pensil itu dengan kasar dari tanganku hingga membuatku terlonjak kaget. Ya Tuhan apa Ahjussi[7] mesum yang duduk di sampingku saat ini.
“Ya! Buakankah ini pensilku. Bagaimana bisa ada padamu?”
Aku menoleh perlahan kesamping untuk melihat orang yang telah mengambil pensil pria tanpa sopan santun. Seketika jantungku berhenti berdetak selama satu detik. Ye-Jin salah, tentang kemungkinan yang dikatankanya. Itu bukan nol koma titik-titik. Tuhan menjawab doaku.
“Ya! Aku berbicara padamu. Apa kau mencurinya? Kapan kau mengambilnya?”
Aku tak bisa menjawab apa pun tuduhannya. Kenyataan bahwa dia tak bisa mengenaliku terasa membungkan mulutku. Airmataku tanpa aku sadari menetes.
Kau menyakitiku lagi kak Fajar...


1.      ~ah merupakan imbuhan untuk panggilan akrab seseorang
2.      Gomawoyo berarti terimakasih
3.      Eomma adalah ibu
4.      Sengsaengnim adalah panggilan untuk seorang guru
5.      Hangeul adalah huruf korea
6.      Ahjussi adalah sebutan paman


3 Response to "Senja dan Fajar [1] Negeri Empat Musim"

  1. Unknown Says:

    Sumpah apik zah

  2. Bayu Says:

    to Aida : Sumpah kon

  3. Unknown Says:

    sumpah aku pengen dadi azizah

Posting Komentar