SENJA DAN FAJAR
[1] Negeri Empat Musim
Hanya
ada dua musim, ketika Tuhan menakdirkanku untuk merajut kehidupan. Aku pernah
bertanya kepada ibu mengapa mereka memberiku nama Senja. Alasannya adalah
karena Fajar. Bukan karena tangis pertamaku pecah saat senja bergulir. Ibu
menjelaskan tentang Fajar yang menghilang setelah pagi berlalu tapi pada
akhirnya takdir tetap membawanya pulang pada Senja.
Saat
itu aku tak mengerti sama sekali. Tapi sekarang karena hal itu aku tetap bisa
berdiri tegak melawan hujan dan terik matahari. Harapan kecil yang aku titipkan
pada kalimat yang sederhana itu. Aku akan selalu menagih kebenaran kalimat itu
pada Ibu.
****
Roda
kecil di kaki koperku berputar cepat. Tubuhku terasa terayun mengikuti langkah
tergesa Ye-Jin. Saat di pesawat aku berpikir akan bisa menikmati keindahan
bandara Incheon yang selama ini hanya bisa aku lihat di beberapa postingan
teman-teman di media sosial. Tentang beberapa Idola mereka—yang juga termasuk
Idolaku hilir mudik untuk berkunjung ke beberapa negara.
Aku
mendengus sebal pada Ye-Jin. Gadis ini seperti tengah dikejar hantu saja. Pot
dalam dekapanku semakin kueratkan karena takut akan terjatuh. Jangan bertanya
mengapa aku bisa membawa pot ini di pesawat. Bahkan aku harus mengeluarkan uang
satu juta rupiah hanya untuk itu. Ingin sekali aku menonjok petugas bandara
saat itu.
“Jangan
mendengus seperti itu. Ini kulakukan karena aku tak mau kita membeku karena
suhu -4°C di pagi buta seperti ini.” Ye-Jin protes dengan bahasa koreanya yang
kental.
Aku
sudah menguasai bahasa korea bahkan sebelum aku lulus sekolah menengah atas.
Ibu membiarkanku mengikuti les bahasa walau keuangan kami pas-pasan. Tidak. Aku
menabung untuk membayarnya tiap bulan.
Jika
saja perkataan Ye-Jin tak benar. Aku sudah akan membalasnya. Tapi mungkin hal
itu harus kuurungkan ketika hawa dingin masih menyentuh kulit pipiku. Ye-Jin
sempat memakaikanku mantel tebal sambil mengomel sebelum menarikku tadi. Aku
baru tahu ternyata Ia sangat cerewet. Berbanding terbalik saat kita hanya
berteman melalui media sosial. Mulutnya sangat manis.
****
Aku
memandang butiran salju yang masih saja turun padahal fajar sudah datang. Dari
balik jendela kaca bus yang kami naiki, aku bisa melihat tumpukan salju di
sepanjang jalan. Kini aku sudah berada di negara empat musim impianku.
Musim
salju kemudian bunga bermekaran di musim semi. Ibu bilang pemandangan musim
gugur dengan aroma coklat adalah yang terbaik. Setelah itu akan ada musim panas
yang ceria.
Ye-Jin
sudah tidak mengomel lagi, dia tertidur pulas dengan bantal leher Pororonya.
Sebelum itu dia bilang kita masih ada satu jam sebelum sampai di Seoul. Entah
mengapa jantungku tiba-tiba saja berdetak lebih cepat.
Seoul.
Seseorang meninggalkanku di negara dua musim dan tinggal di sana bersama
ibunya. Dia tidak mengatakan apa pun selain bahwa dia lahir disana. Sudah
delapan tahun dan Ye-jin mengatakan Seoul itu luas. Kemungkinan kami bisa
bertemu hanya nol koma titik-titik persen. Jahat sekali dia mengatakan hal itu
padaku. Gadis ini memiliki mulut yang pedas dan terlalu terus terang. Kalau
bukan dia satu-satunya orang yang mau memberiku tumpangan gratis selama satu semester
pertukaran pelajar ini, aku tak akan sudi setiap saat mendengar gerutuannya.
Malang sekali nasibku.
****
Aku
menaruh pot bunga kaktusku di kusen jendela bersama beberapa pot bunga lainya.
Ye-Jin tengah memasak nasi dengan mesin penanak. Kami sempat membeli lauk saat
perjalan pulang dari halte bus. Rumah Ye-Jin berada di atap sebuah gedung
apartemen sederhana. Dia menyewanya dengan harga yang murah. Balakangan rumah
seperti ini tengah populer di berbagai drama korea yang pernah kutonton. Aku
akan memikirkan lagi tentang membayar setengah uang sewa rumah kepada Ye-Jin.
Aku akan membantahnya dengan sekuat tenagaku kalau dia kembali menolak.
Saat
aku menyusul Ye-Jin ke dapur aku melihatnya tengah sibuk memindahkan lauk yang
kami beli ke dalam mangkuk. Aku membuka lemari es dan meneguk segelas air putih
dingin yang langsung terasa menyebar di tenggorokan. Salju benar-benar membuat
udara terasa menusuk tulang.
“Kau
harusnya mandi terlebih dahulu sebelum menginjakkan kaki ke dapur.” Ye-Jin
menyindir tanpa mau repot berbalik menatapku. “Kau bisa menyalakan pemanas
airnya jika kau merasa kedinginan, Senja.” Akhirnya dia berbalik dan berkata
dengan lebih halus saat tidak mendengar jawabanku.
“Aku
akan melakukannya setelah makan.” Perutku sudah tak bisa menunggu lagi. Aku
belum memakan apa pun selain hidangan di pesawat.
Ye-Jin
tersenyum dan menyuruhku duduk sebelum mengambilakan nasi ke kalam mangkuk.
Kami makan di depan TV dengan meja kotak tanpa kursi. Kami memasukkan kaki kami
ke dalam kolong meja agar hangat.
Ye-jin
bilang setalah ini dia akan mengajakku ke kampus sebelum besok perkuliahan
dimulai. Kami berada di Universitas dan jurusan yang sama. Sepertinya kami
memang berjodoh.
Ye-Jin
seperti malaikan walau kadang mulutnya begitu menyebalkan. Karena dia, aku tahu
ada program pertukaran pelajar di kampusnya. Kami menyukai bidang yang sama.
Kami sama-sama mengagumi tanaman.
Ada
beberapa bunga matahari di sebalah tempat jemuran. Ye-Jin membuat taman kecil
di depan rumahnya. Bunga matahari adalah favoritku.
****
Fajar
dan senja saling terkait sebagaimana matahari dengan langit. Pertemuan pertama
kami tidak begitu spesial. Hanya awan-awan kecil seperti kapas yang aku ingat
saat itu. Dulu aku membencinya. Memakinya setiap kali kami bertemu. Dia juga
membenciku. Kami selalu bertengkar. Tapi entah mengapa diam-diam kami saling
ingin bertemu setiap saat.
Ye-Jin
menepati janjinya untuk mengajakku berkeliling Seoul setelah berkunjung ke Universitas
dan menunjukkan beberapa kelas yang nantinya akan kami tempati. Ye-Jin bilang,
aku tidak akan menemui banyak kesulitan saat mengikuti kuliah disini karena
kemampuan bahasaku. Ye-Jin sendiri heran dengan logat tanpa celaku. Dia sampai
tak percaya bahwa aku belum pernah ke Korea sebelumnya. Aku hanya mengatakan
bahwa ibuku pernah tinggal disini selama beberapa tahun untuk melakukan
penelitian bersama dosennya saat kuliah.
Kami
sejenak berhenti di kedai sosis pinggir jalan. Sambil memijat betis aku
memperhatikan Ye-Jin yang tengah membeli dua buah sosis besar. Aku tak tahu
makanan apa yang Ye-Jin makan setiap harinya. Energinya seperti tak pernah
habis. Kami sudah berkunjung ke Namsan Tower, Lotte World dan berakhir di
sungai Han malam ini.
Sambil
menggenggam sosis besar masing-masing, kami duduk untuk menikmati air mancur
yang meluncur dari bawah jembatan yang jatuh langsung ke sungai. Airnya bergerak
dengan indah dan ada bias cahaya warna-warni disana.
“Ye-Jin~ah[1],
gomawoyo.[2]” setelah menelan gigitan pertama sosis raksasa
ini aku berujar pelan mencoba tidak mengganggu Ye-Jin yang tengah menikmati
pemandangan.
Gadis
itu menoleh dan tersenyum tulus, “tidak perlu berterimakasih. Kau adalah teman
pertamaku yang bukan orang Korea. Aku senang bisa membantumu.”
“Aku
tak akan bisa membalas kebaikanmu, Ye-Jin~ah.” Aku bergerak untuk
memeluk Ye-Jin. Gadis ini begitu baik. Ini adalah pertamakalinya aku jauh dari
orang tua. Aku sempat tak yakin bisa bertahan. Tapi ternyata tak seburuk yang
kubayangkan.
Pernah
mendengar istilah bahwa teman bisa membuatmu lupa bahwa kau masih punya
segudang masalah yang membebani pikiranmu. Kau akan tahu seberapa besar kau
membutuhkan teman saat tak ada satu pun orang yang bahkan sempat hanya untuk mengatakan
Hallo.
****
Kami
berbaring bersebelahan dan saling menatap atap kamar yang berhiaskan gantungan
bintang-bintang. Mereka menyala saat lampu tidur dimatikan. Ye-Jin bilang itu
hadiah dari ibunya saat ia berulang tahun dua tahun yang lalu.
“Itu
hadiah terakhir dari Eomma[3]. Dia meninggal sebualan
setelahnya karena sakit. Dia memang sedah menderita penyakit ginjal selama
bertahun-tahun. Aku sedikit lega karena tak akan melihatnya menderita lagi saat
cuci darah. Tapi tetap saja rasanya tidak rela. Seseorang yang sebelumnya
selalu bersamamu tiba-tiba saja pergi dan tak akan kembali.”
Aku
hanya diam mendengarkan Ye-Jin bercerita. Tidak ada satu tetes pun air mata
yang jatuh. Dia begitu tegar walau aku tahu dia pasti sangat sedih. Aku tahu
rasanya kehilangan seseorang yang berharga walau aku lebih beruntung karena
mungkin kami masih bisa bertemu lagi meskipun Ye-Jin bilang persentasenya hanya
nol koma titi-titik.
Ye-Jin
tiba-tiba membalik tubuhnya menghadapku dengan gerakan cepat. Senyum lebarnya
terukir. Sangat berbanding terbalik dengan wajah sendunya tadi. Aku
memandangnya dengan kening berkerut heran. Mood-nya gampang sekali
berubah. “Sudah jangan pikirkan tentang aku. Sekarang ceritakan saja tentang Fajar.
Bagaimana dia, apa dia tampan? Kau punya fotonya tidak? Kau tidak mau
memperlihatkannya padaku?”
“Aku
tak punya fotonya kecuali saat kami masih kecil. Dia dua tahun lebih tua
dariku.” Aku bergerak mengambil sebuah foto di dalam koper yang belum sempat
aku bereskan.
Disitu
kami tengah membantu Ibu menanam bunga di halaman rumah. Fajar tertawa lebar
dan aku terlihat cemberut. Aku ingat saat itu dia memasukkan tanah ke dalam
bajuku. “Dia itu anak yang nakal. Dia selalu menggangguku saat aku baru masuk sekolah
menengah pertama sedangkan dia berada di tingkat akhir. Dia pernah memasukkan
sampah plastik ke dalam tasku dan membuatku menangis sepanjang jalan pulang ke
rumah. Dan sialnya ibu selalu membelanya.”
Ye-Jin
tertawa lebar membuatku semakin kesal. “Kalian terlihat lucu di foto ini.”
Ujarnya dengan berusaha menghentikan tawa. “Fajar ternyata sangat tampan.”
Ye-Jin
kembali tertawa semakin kencang setelah melihat raut wajahku yang mendadak
suram, ingin sekali aku meninjunya. “Astaga, tenang saja aku hanya bercanda.
Jangan cemburu begitu padaku. Membuatku takut saja.”
Dan
akhirnya kami tidur dengan nyenyak di bawah bintang milik ibu Ye-Jin. Kau tahu,
cerita ini baru akan dimulai. Aku berharap kejutan-kejutan indah akan datang
esok.
****
Hari
pertama kuliah. Semua orang memperhatikanku. Mungkin tak biasa dengan kerudung
yang menutupi kepalaku. Aku belum pernah menjadi sorotan banyak orang. Tapi
Ye-Jin bilang aku tetap harus percaya diri, jika tidak mereka akan
meremehkanmu. Apa aku sekarang tengah hidup di dunia drama? Entahlah aku tak
ingin memikirkan ini.
Aku
harus menemui Kim Songsaengnim[4] sebagai penanggungjawab
atas pertukaran pelajar ini. Ada beberapa dokumen yang harus aku selesaikan.
Satu map besar dokumen sudah kusiapkan. Ye-Jin menyuruhku untuk berangkat
sendiri. Dia langsung menuju kelas. Katanya ada tugas yang belum ia selesaikan
gara-gara mengantarku berkeliling kemarin. Aku harus terbiasa dengan sindiran
pedasnya mulai sekarang.
Tinggal
melewati dua ruangan lagi aku akan sampai. Tanganku sudah akan terayun untuk
mengetuk pintu sebelum suara dengan nada agak tinggi menahanku.
“Tunggu
Sang-Woo ayah belum selesai bicara!”
“Berhenti
memanggil dirimu sendiri sebagai ayah. Ayahku sudah meninggal dan jangan
mengaturku lagi seperti kau mengatur ibu. Aku bukan kerbau yang akan selalu
menurut karena dicocok hidungnya.” Aku membeku di tempat. Apa itu adalah
pertengkaran ayah dan anak. Mengapa kasar sekali bahasanya.
Belum
sempat keterkejutanku berakhir pintu tiba-tiba saja terjerembab terbuka dengan
kasar. Aku sampai melompat kebelakang saking kagetnya. Seseorang dengan tinggi
menjulang keluar dari ruangan Kim Seongsaengnim tergesa-gesa. Aku belum
sempat melihat wajahnya karena dia menabrakku dan berlalu begitu saja. Untung
aku tidak terjatuh.
Pria
itu benar-benar tidak sopan. Membentak ayahnya sendiri dan setelah itu menabrak
orang lain tanpa mau meminta maaf. Suatu saat dia pasti akan mendapat masalah
dengan kelakuannya itu.
Aku
sudah akan masuk ruangan Kim Seongsaengnim ketika kurasakan kakiku
menginjak sesuatu. Aku meliat sebuah pensil hitam di lantai. Aku mengambilnya
dan menemukan ukiran nama Sang-Woo dalam tulisa Hangeul[5]
di sana. Ini pasti pensil mahal milik pria tanpa sopan santun itu. Aku akan
menitipkanya pada Kim Seongsaengnim agar diberikan pada pria tanpa sopan
santun itu. Apa ini tak masalah, mungkin hubungan mereka tidak berjalan dengan
baik. Atau aku memberikannya nanti saja kalau bertemu lagi. Kurasa dia akan
sering ke kampus karena dia anak Kim Seongsaengnim.
****
Ye-Jin
benar-benar tega menyuruhku pulang sendirian sementara dia akan berkencan
dengan kekasihnya. Dari pada aku di rumah sendiri lebih baik aku jalan-jalan
saja dulu. Atau mungkin aku mencari pekerjaan saja agar tidak selalu
menyusahkan Ye-Jin, si gadis dengan mulut seperti bebek itu. Baiklah mulai
sekarang aku akan memanggilnya dengan sebutan bebek.
Aku
merogoh dompetku di dalam tas. Kemudian mengeluarkan sebuah kertas yang berisi list
tempat-tempat yang wajib kukunjungi saat di Korea lengkap dengan alamatnya.
Diantara
beberapa list itu aku menemukan tempat yang cocok untuk mencari
pekerjaan sekaligus Fangirling. Mouse Rabit adalah kafe milik Yesung
Superjunior. Kalau aku bisa diterima bekerja disana mungkin aku akan setiap
hari bertemu dengan Yesung Oppa[6].
Aku
duduk disalah satu meja kafe dengan Cappucino milk shake buatan ibu
Yesung Oppa. Aku sungguh beruntung hari ini datang ke Mouse Rabbit hingga
bisa bertemu dengan keluarga Yesung Oppa termasuk dengan Jong-Jin. Ibu
Yesung Oppa sangat ramah, dia memberiku formulir untuk kuisi jika ingin
melamar pekerjaan disini. Beliau bilang banyak yang ingin bekerja, aku harus
sabar mengantri. Aku menambahkan nomor teleponku di pojok kanan atas. Semua
sudah terisi termasuk dengan motovasi melamar pekerjaan disini.
Aku
menulis bahwa aku adalah Fans Yesung Oppa dan tidak punya uang
untuk menonton konsernya jadi setidaknya aku masih bisa bertemu dengannya jika
aku bekerja disini. Ibu Yesung Oppa pasti menertawakan jawabanku.
Aku
tidak berharap terlalu banyak. Mungkin ditempat lain peluangnya akan lebih
mudah. Setidaknya aku sudah mencoba.
Aku
menyesap minuman terkhirku sebelum beranjak dan memberikan formulirnya kemudian
pergi. Ye-Jin pasti tak akan percaya jika kuceritakan apa yang sudah aku
lakukan hari ini. Biar saja, dia pikir aku tak akan bisa melakukan apa-apa
tanpa dirinya.
****
Bunga
matahari yang terlihat sangat cantik saat senja hari. Seseorang pernah
mengatakan bahwa aku mirip dengan bunga matahari. Kokoh dan kuat, tidak pernah
bersembunyi dari terik matahari. Bahkan satu-satunya hal yang masih bisa bersinar
saat terang. Kau tahu bahkan bintang saja hanya bisa bersinar saat gelap.
Tapi
dia lupa akan satu hal. Bunga matahari tak pernah melepaskan pandangannya dari
matahati. Kau tahu kau mirip matahari yang dirindukan bunga matahari.
Aku naik
ke dalam bis dengan tergesa. Hari sudah beranjak senja. Aku tak mau mendapat
omelan dari Ye-jin lagi. Dan lagipula aku bukan gadis yang tidak tahu diri.
Setidaknya aku harus membantu Ye-Jin menyiapkan makan malam kami. Dia bilang
hari ini dia akan masak untuk makan malam. Beli diluar tidak baik untuk
kesehatan dan titik poinnya menurut bebek itu adalah pemborosan.
Aku
tak mau memikirkan lagi tentang Ye-Jin yang akan mengomel, lebih baik aku
duduk. Kebetulan bis sedang kosong jadi aku memilih tiga kursi dari belakang.
Dari sini aku bisa melihat pemandangan senja yang indah melalui kaca jendela.
Aku
mengeluarkan ponselku dan memasang Headset. Tiga puluh menit perjalanan
akan aku habiskan dengan menikmati beberapa lagu Ballad. Aku adalah penggila
Ballad. Teman-temanku di Indonesia sempat menjulukiku miss mellow. Tapi
aku senang dengan itu.
Seseorang
seperti duduk disampingku sesaat setelah bus berhenti di sebuah halte. Aku
tidak terlalu memperdulikannya. Aku lebih memilih menikmati lagu dan
pemandangan indah dihadapanku.
Aku
benar-benar bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan ini. Aku tak pernah
menyangka aku bisa sampai disini. Bertemu Ye-Jin, kuliah, dan mungkin bekerja
di tempat Yesung Oppa. Dan doa terbesarku adalah bisa bertemu dengan
orang itu setelah delapan tahun kami berpisah. Apa dia masih mengenaliku. Apa
wajahnya akan berubah. Apa tinggi badannya akan seperti aktor-aktor korea yang
begitu menjulang. Entahlah. Jika membayangkannya kepercayaandiriku merosot
hingga titik terbawah.
Tiba-tiba
aku teringat dengan pensil yang kutemukan tadi pagi. Aku mengeluarkannya dari
tas dan kembali memperhatikan ukiran nama Sang-Woo. Sepertinya ini diukir
sendiri karena tulisannya yang tidak begitu rapi. Aku sangat penasaran dengan
pria tanpa sopan santun pemilik pensil ini. Apa dia akan membentakku seperti
dia membentak ayahnya. Ya Tuhan, tolong lindungi aku.
CTAK
Tiba-tiba
ada yang merebut pensil itu dengan kasar dari tanganku hingga membuatku
terlonjak kaget. Ya Tuhan apa Ahjussi[7] mesum yang duduk di
sampingku saat ini.
“Ya!
Buakankah ini pensilku. Bagaimana bisa ada padamu?”
Aku
menoleh perlahan kesamping untuk melihat orang yang telah mengambil pensil pria
tanpa sopan santun. Seketika jantungku berhenti berdetak selama satu detik.
Ye-Jin salah, tentang kemungkinan yang dikatankanya. Itu bukan nol koma
titik-titik. Tuhan menjawab doaku.
“Ya!
Aku berbicara padamu. Apa kau mencurinya? Kapan kau mengambilnya?”
Aku
tak bisa menjawab apa pun tuduhannya. Kenyataan bahwa dia tak bisa mengenaliku
terasa membungkan mulutku. Airmataku tanpa aku sadari menetes.
Kau
menyakitiku lagi kak Fajar...
1.
~ah merupakan imbuhan untuk panggilan akrab seseorang
2.
Gomawoyo
berarti terimakasih
3.
Eomma
adalah ibu
4.
Sengsaengnim
adalah panggilan untuk seorang guru
5.
Hangeul
adalah huruf korea
6.
Ahjussi
adalah sebutan paman